Langit terlihat hitam kelam. Suara guntur saling bersahut-sahutan. Tetapi langit tak jua menumpahkan isinya. Kenapa lama sekali? Padahal aku ingin hujan segera turun. Karena setelah itu aku tahu, sedikit demi sedikit suara guntur itu akan menghilang dengan sendirinya. Entah mengapa hati ini menjadi terasa begitu gelisah. Aku tak pernah merasakan perasaan segundah ini. Pikiranku melayang memikirkan ibu.
“ Tuhan, sedang apa ibu sekarang? Kenapa hati ini gelisah memikirkan ibu? Apa ibu baik-baik saja?”
Tidak, tidak, aku tidak boleh berpikir yang aneh-aneh. Ibu pasti baik-baik saja. Waktu baru saja menunjukan pukul 15.50, masih siang sebetulnya. Tetapi cuaca terasa sangat menakutkan. Di kamar ini, aku hanya terbujur sendiri. Tak ada siapapun. Suara di luar pun tampak sepi. Siapa pula yang mau keluar saat cuaca seperti ini?
Klaak...klaak...klaak....
Rombongan pasukan hitam itu terlihat beriringan. Barisan berwarna hitam, perlambang kematian. Dulu ketika masih kecil, aku sering mendengar cerita dari nenek bahwa ketika ada burung gagak yang beriringan macam itu, maka itu pertanda bahwa akan ada seseorang yang meninggal. Dari dulu aku juga selalu benci dengan burung gagak. Tak ingin aku melihatnya, walaupun hanya sekedar melintas di kejauhan.
Ibu, aku kembali teringat pada ibu. Sedang apa ibu sekarang? Aku ingin bertemu dengan ibu.
Kemarin aku mendapat surat dari ayah. Ibu jatuh sakit. Penyakit gula darahnya semakin parah. Akibat terlalu capek, penyakit asmanya pun kambuh. Ah, ibu selalu begitu, tak pernah mendengarkan nasehat ayah dan aku. Sudah kubilang, jangan terlalu capek. Urusan pergi ke ladang atau ke pasar suruh saja seseorang. Tapi ibu memang keras kepala. Tak tahu aku harus bagaimana mencegahnya.
***
Malam sudah hampir datang, ia mulai mempersiapkan diri untuk menyambut giliran tampilnya. Langit sudah tak begitu gelap. Awan hitam mulai menyingkirkan diri. Bias-bias cahaya senja mulai menghiasi atap langit. Menimbulkan cahaya kuning kemerahan. Pemandangan yang begitu indah. Sejenak aku pun bisa menikmatinya. Menikmati suasana senja yang begitu mengagumkan.
Klaak...klaak...klaakk...
Pasukan hitam itu lagi. Merusak semua keindahan sore hariku saja. Hatiku berubah menjadi benci. Ketika burung-burung itu terlihat, seketika aku teringat ibu. Aku menjadi begitu mengkhawatirkannya. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada ibu. Sebenarnya ada apa ini, Tuhan?
Saat ini ingin sekali rasanya aku pergi ke rumah dan memeluk ibu. Disini, di perantauan ini aku merasa sangat terpenjara. Terpenjara kegundahan hati yang entah bagaimana rasanya. Sulit sekali digambarkan.
***
Akhirnya, tanpa berpikir panjang lagi aku mengemasi barang-barangku ke dalam tas ransel yang biasa kupakai untuk pulang. Kubiarkan bantal, sprei, dan tas berserakan di atas kasur. Aku pakai sepatu lantas kukunci pintu kamar dengan segera.
Dan ketika aku hendak naik ke dalam bus, tiba-tiba saja gerombolan anak-anak itu mendorongku hingga akhirnya, bluk. Aku terjatuh.
“Ra...Dara.. ashar sayang, cepat bangun...!”
Ah, ternyata mimpi. Bibi telah membangunkanku dari mimpi ini. Kulirik jam dinding yang menggantung setia di atas fotoku bersama ibu. Pukul empat lebih sepuluh menit. Aku memang tertidur dari tadi siang setelah sholat dzuhur. Mukena pun belum sempat kulepas. Sajadah masih tergelar di samping kasur.
Klaakk... klaak... klaak...
Dari kejauhan terdengar suara burung itu, aku terperanjat, lalu kulihat ke luar jendela. Di atas langit sana, pasukan hitam itu terlihat beriringan. Menuju suatu tempat yang entah dimana.
Tak terasa butiran bening mengalir di pipiku. Hati ini menjadi panas. Kenapa aku begitu membenci iring-iringan burung gagak itu? Semenjak.....
Semenjak, ibu tak lagi ada di sisiku. Semenjak penyakit itu menggerogoti ibu, dan pada suasana seperti itu tiba-tiba saja iring-iringan pasukan hitam itu datang. Dan di depan mataku ibu melepas kehidupannya. Menyampaikan pesan-pesan terakhirnya.
***
Setelah mengambil air wudhu, aku pun menunaikan kewajiban itu. Khusyuk. Aku benar-benar merasakan kenikmatan itu. Nikmatnya ketika jiwa ini sepenuhnya diserahkan kepada pemilik-Nya. Dalam do’a, aku tak pernah lupa menyebut nama ibu.
Kemudian aku melangkah mendekati foto ibu, lantas kuambil bingkai yang menghiasi wajah bersihnya.
Ibu, sedang apa kau disana? Aku tahu ini sudah menjadi kehendak-Nya, aku ikhlas bu. Kudoakan semoga kau mendapatkan cahaya yang terang di sisi-Nya. Tuhan, tolong sampaikan salam rinduku pada ibu. Aku ingin segera bertemu dengannya. Aku ingin merasakan kembali pelukannya, aku sangat merindukannya.
Aku tak sanggup menahan aliran ini. Air mataku terus berjatuhan mengingat semua hal tentang ibu. Bibirku boleh berkata ikhlas, tapi ternyata hatiku belum sepakat. Tiba-tiba saja dadaku sesak, aku melihat dua bayangan bertubuh besar menghampiriku. Dan aku tak sanggup berbuat apa-apa.
Pintu kamarku terdengar dibukakan seseorang. Namun, mataku sudah tak sanggup melihatnya.
“ Dara... kamu kenapa sayang? Dara... “ bibi memanggil-manggil namaku, kepanikan terjadi saat itu. Ayah, paman, dan seluruh penghuni rumah berkumpul di kamar. Dan aku....
“ Innalilahiwainailaihi rojiun,” ayah mengucapkan do’a terakhir untukku, pasrah.
Segala yang berasal dari Allah, akan kembali kepada-Nya.
***
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Catatan Titin. Powered by Blogger.
0 comments :
Post a Comment