Dari masa ke masa, karya sastra novel telah mampu mempertahankan keberadaannya. Sejak zaman novel Siti Nurbaya yang ditulis oleh Marah Roesli hingga muncul berbagai jenis novel lainnya hingga sekarang, eksistensi novel seakan tak pernah padam. Seorang novelis seringkali diidentikan sebagai seorang sastrawan. Walaupun terkadang bahasa yang digunakan dalam novel tidak melulu menggunakan bahasa sastra.
Saat ini, semakin marak penulis pemula yang sudah bisa menerbitkan novelnya hingga berpuluh-puluh bahkan beribu-ribu eksemplar. Semakin banyak pula khalayak muda yang menunjukan minat dan ketertarikannya sebagai penikmat novel bahkan penulis novel. Maraknya penulis novel pemula yang dengan mudah bisa menerbitkan karyanya, terkadang menurunkan nilai sastra yang terkandung di dalamnya. Banyak unsur yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai karya sastra.
Apalagi yang terjadi pada novel-novel masa kini. Banyak diantara penulis novel yang tidak menggunakan bahasa baku dan sesuai EYD. Ide cerita yang digunakan seringkali monoton dan itu-itu saja. Atau kadangkala mengandung ide cerita yang tidak berbobot. Juga penggunaan diksi-diksi yang kurang pas untuk dikatakan sebagai karya sastra. Munculnya genre baru dalam jenis novel juga menjadi salah satu penyebabnya.
Kemerosotan nilai sastra yang terkandung dalam novel-novel masa kini bisa disebabkan oleh beberapa hal. Yang pertama karena faktor bahasa. Saat ini muncul bahasa-bahasa baru yang tidak baku. Hal ini berpengaruh juga terhadap karya sastra, karena bahasa merupakan senjata utama yang dimiliki seorang penulis.
Bahasa-bahasa yang populer saat ini, yang kebanyakan anak muda menyebutnya sebagai bahasa alay turut mewarnai dalam penulisan karya novel oleh sebagian penulis. Atau alasan lain seperti banyaknya penulis (pemula) yang belum benar-benar mengetahui tentang kosakata dalam bahasa Indonesia. Kedua, karena ikut-ikutan. Kebiasaan mengekor di Indonesia tampaknya sudah melekat dalam diri masyarakat Indonesia. Seperti juga ketika muncul salah satu genre baru dalam novel yang kemudian bisa mencapai penjualan yang tinggi. Maka banyak orang yang menulis novel serupa tetapi kwalitasnya masih dipertanyakan.
Sebagai penikmat, kadangkala orang-orang (terutama di kalangan muda) pun lebih memilih novel yang pembahasannya ringan daripada novel dengan bahasa yang berat. Selain karena urusan harga yang biasanya lebih murah, unsur hiburan pun menjadi alasan utama. Atau alasan lain karena kesukaannya terhadap sang penulis.
Tidak ada yang bisa disalahkan dalam fenomena ini. Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan dan mengaktualisasi minat dan bakatnya sendiri. Setiap orang tentulah memiliki gaya bahasa dan tulisan yang khas. Hanya saja, ketika seseorang telah memutuskan untuk masuk ke dalam dunia penulisan sastra, hendaknya memperhatikan kaidah bahasa Indonesia agar aspek-aspek yang terkandung dalam karya sastra tersebut tidak semakin hilang ditelan zaman.
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Catatan Titin. Powered by Blogger.
0 comments :
Post a Comment